Pengumuman resiprokal tarif AS di awal bulan ini terhadap 160 negara di dunia menjadi bahan perbincangan saat ini. Penetapan tarif ini termasuk berlaku terhadap ekspor AS dari Tiongkok, Vietnam, dan negara-negara ASEAN-5 (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand), dengan tarif yang diberlakukan untuk Indonesia yaitu 32%.
Kondisi ini diperkirakan akan mendorong terjadinya pengalihan arus perdagangan, hal ini karena para eksportir akan mencari pasar alternatif untuk menjual produk mereka dalam proporsi yang lebih besar.
Nilai ekspor Indonesia ke Amerika berada di kisaran 10% dari nilai total ekspor nasional pada tahun 2024.
Jenis barang yang umumnya diekspor Indonesia ke Amerika adalah minyak sawit, mesin listrik lainnya, dan peralatan penyiaran. Sementara ekspor dari Amerika ke Indonesia adalah gas bumi, kacang kedelai dan minyak mentah.
Jika menilik potensi dampak tarif resiprokal AS terhadap Indonesia terhadap sektor properti, maka properti terbilang cukup dapat bertahan, karena tidak terdampak langsung. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa kemungkinan pasar properti akan melemah, karena beberapa sektor yang terdampak langsung dengan tarif, seperti manufaktur diperkirakan akan mengalami pelemahan, sementara manufaktur merupakan salah satu engine untuk pertumbuhan sektor properti.
Meski demikian, kewaspadaan tetap perlu diberlakukan, terutama karena investasi diperkirakan akan tertunda, dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, sektor properti juga sangat sensitif terhadap dinamika ekonomi makro, diantaranya terhadap pertumbuhan ekonomi, suku bunga, inflasi, nilai tukar, regulasi dan iklim investasi.
Namun, di tengah kondisi yang tidak pasti ini, terbuka peluang untuk Indonesia sebagai salah satu emergent market dunia saat ini. Misalnya saja pada sektor properti industri dan pergudangan, relokasi industri dari perang dagang AS dan Cina berpotensi mengalihkan produksi mereka ke negara lain atau menjual barang ke pasar regional, maka kawasan industri seperti di Karawang, Bekasi, dan Batang mengalami peningkatan minat dari perusahaan manufaktur yang ingin relokasi atau ekspansi. Demikian juga halnya pada permintaan gudang logistik seperti di Cibitung, Marunda, dan Sidoarjo.
Namun, bukan tanpa tantangan, Indonesia akan berkompetisi dengan Vietnam, Malaysia, dan Thailand dalam menarik peluang relokasi industri.
Saat ini memang ketidakpastian masih akan terjadi, pasar akan terus bergerak sampai pada titik keseimbangan yang baru, namun di tengah proses yang akan terjadi Pemerintah perlu mempersiapkan mitigasi untuk mengurangi risiko dari pertumbuhan ekonomi yang diprediksi akan melemah.
Penulis : Syarifah Syaukat
Sumber:
https://www.knightfrank.com/research/article/2025-04-14-tariffs-and-real-estate-initial-views
https://www.metrotvnews.com/
https://www.kompas.id/