Belakangan ini isu polusi udara di Jakarta kembali menjadi topik yang ramai dibicarakan karena dalam satu minggu terakhir Jakarta menduduki peringkat atas kota paling berpolusi di dunia. Indeks polusi yang tercatat dari IQ Air rerata di angka 174-200, yang masuk dalam kategori tidak sehat.
Saat ini, pemerintah sedang mempersiapkan sejumlah langkah untuk mengatasi masalah polusi udara di wilayah Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek). Langkah untuk mengatasi masalah kualitas udara di wilayah Jabodetabek akan dibagi ke dalam beberapa tahap, yaitu jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
Dalam jangka pendek, pemerintah akan memberlakukan kebijakan Euro 5 dan 6, menambah ruang terbuka hijau, hingga menerapkan kembali WFH atau Work From Home.
Kebijakan Euro 5 dan 6 adalah regulasi dari Uni Eropa yang mewajibkan penggunaan katalis untuk mobil berbahan bakar bensin pada 1992. Standar emisi Euro 5 mewajibkan diesel particulate filters (DPFs) untuk semua mobil diesel. Batas partikulat juga diperkenalkan untuk mesin bensin direct injection. Sementara itu, Euro 6 sendiri merupakan standar ambang batas emisi gas buang seluruh kendaraan dengan mesin penggerak berbahan bakar fosil atau internal combustion engine (ICE), termasuk juga mesin diesel. Standar ambang batas emisi gas buang kendaraan ini sudah diterapkan oleh berbagai negara Eropa sejak 2015 lalu.
Disisi lain, WFH juga menjadi opsi lain yang akan diterapkan guna menurunkan tingkat emisi dan polusi. Penerapan WFH sempat dilakukan saat masa pandemi melalui kebijakan PSBB dan PPKM, hal ini memiliki pengaruh terhadap kualitas lingkungan di Indonesia karena terbatasnya aktivitas yang dilakukan masyarakat di luar rumah.
Salah satu dampak paling nyata dari WFH adalah penurunan jumlah kendaraan bermotor yang beroperasi di jalan raya. Dengan banyaknya karyawan yang bekerja dari rumah, lalu lintas menjadi lebih ringan, mengurangi kemacetan, dan mengurangi jumlah emisi gas buang kendaraan. Hal ini secara langsung membantu mengurangi polusi udara di Jakarta.
Umumnya, melalui penurunan emisi dari kendaraan dan industri akan secara langsung menghasilkan kualitas udara yang lebih baik. Partikel-partikel berbahaya yang mengambang di udara, seperti PM2.5 (partikulat kecil berukuran 2.5 mikrometer), dapat dikurangi. Ini akan berdampak positif pada kesehatan penduduk, terutama bagi mereka yang rentan terhadap masalah pernapasan.
Menurut rilis dari Knight Frank dalam (Y)OUR SPACE, mengungkapkan bahwa dengan praktek pola kerja hybrid rata-rata emisi CO2 yang dihasilkan selama mingguan sebesar 5,3 kg. Adapun kisaran rerata carbon footprint antara pengguna transportasi umum berbasis rel dengan transportasi umum berbasis bus berada antara 17,4 - 21,9 kg CO2 per minggu.
Masih dalam rilis yang sama, saat ini perusahaan cenderung mencari kantor yang mendorong upaya mengurangi emisi karbon melalui operasional gedung yang hemat energi, serta lokasi yang dekat dengan layanan transportasi umum.
Penulis : Muhamad Ashari
Sumber:
https://www.knightfrank.com/research/article/2023-08-03-does-hybrid-work-lower-carbon-emissions
https://jakarta.bisnis.com
www.iqair.com
Artikel Terkait
Nasib Perkantoran Jakarta di Tengah Kebijakan Hybrid Working
Merujuk Pengembangan Transportasi Massal di Jakarta untuk Kota Besar Lain
Pentingnya Penerapan ESG di Sektor Properti dari Perspektif Occupier