Tahun 2023 dihantui dengan prediksi terjadinya inflasi yang besar di hampir seluruh dunia. Kesulitan finansial yang terjadi pada perusahaan-perusahaan besar dapat membuat keputusan menjadi lebih berhati-hati dan cenderung mengutamakan keberlanjutan perusahaan. Hal ini akan mengalihkan fokus mereka terhadap tujuan Environment, Social, Governance (ESG) yang telah dibangun sejak tahun-tahun sebelumnya. Lalu apakah hal tersebut benar terjadi? Dan bagaimana keberlanjutan dari pengarusutamaan ESG dalam pembangunan?
Saat ini ESG disebut-sebut sebagai woke capitalism di Amerika Serikat (AS). ESG disebut merugikan karena menjauhkan para pebisnis dari prinsip dasar bisnis yaitu mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya. ESG juga dinilai sebagai kuda troya liberalisme yang mengutamakan keberagaman di dalam perusahaan. Namun hal tersebut ditentang oleh pemerintah AS, yang bersikukuh bahwa prinsip di balik ESG adalah bahwa investor harus melihat lebih dari sekadar apakah perusahaan dapat memperoleh keuntungan dan mempertimbangkan faktor-faktor lain, seperti dampak lingkungan dan tindakan terhadap masalah sosial. Presiden AS, Joe Biden, mengatakan siap menggunakan hak veto-nya untuk memasukan ESG ke dalam regulasi di AS. Lalu bagaimana tren ESG di Indonesia?
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Shinta Widjaja Kamdani juga menegaskan pentingnya mengimplementasikan aspek ESG dalam menjalankan perusahaan. Dengan meningkatnya kesadaran terhadap perubahan iklim, Hak Asasi Manusia, dan transparansi terkait perlindungan konsumen, investor melihat aspek ESG sebagai faktor pengurang risiko investasi. ESG juga memiliki pengaruh positif terhadap kinerja ekonomi perusahaan.
World Economic Forum (WEF) mengatakan dalam setengah dekade terakhir, aspek ESG telah menjadi pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan investor, karyawan, dan konsumen dengan penekanan khusus pada unsur lingkungan. Oleh karena itu perusahaan perlu melakukan transparansi dalam pengungkapan ESG yang lebih besar, khususnya perusahaan yang dianggap sebagai market leader atau memiliki pasar yang dominan.
Dalam seminar "Dentons HPRP Law and Regulation Outlook 2023: Omnibus Law Sektor Keuangan: Tantangan dan Antisipasi", Shinta juga menjelaskan bahwa ESG terbukti memiliki dampak positif. Dampak positifnya, 68% dari investor dan 63% dari emiten. Tahun 2021, ESG leaders index juga mengungguli performa indeks lainnya dengan rata-rata return selama 7 tahun di angka 37%. Meskipun implementasi ESG di Indonesia masih tergolong lambat, namun saat ini terus berkembang secara lintas sektor bisnis, terutama pada pelaku usaha yang berafiliasi dengan global value chain, dan perusahaan yang sudah jadi public company.
Penulis: Tristan Dimastyo Ramadhan
Sumber:
www.beritasatu.com
www.nytimes.com
www.sindonews.com
Artikel Terkait:
Pentingnya Penerapan ESG di Sektor Properti dari Perspektif Occupier