Baru-baru ini salah satu proyek besar pembangunan, yaitu tol tanggul laut Semarang-Demak terkendala perihal penentuan tanah musnah. Lalu, apa sebenarnya tanah musnah ini?
Menurut Permen ATR/BPN No 17 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Tanah Musnah, tanah musnah merupakan tanah yang sudah berubah dari bentuk asalnya karena peristiwa alam sehingga tidak dapat difungsikan, digunakan, dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Jika suatu lahan tanah sudah ditentukan sebagai tanah musnah, maka pemerintah tidak dapat mengganti untung atas dampak pembangunan proyek kepada pemilik tanah.
Urgensi tersebut banyak terkuak pada proyek Jalan Tol Semarang Demak dikarenakan kondisi fisik lingkungan kawasan yang rentan terhadap bencana alam. Kawasan Semarang-Demak memang kerap mengalami banjir rob akibat adanya land subsidence. Bencana Land subsidence (penurunan muka tanah) ini membuat beberapa bangunan di kawasan Semarang-Demak tidak kayak untuk difungsikan, sehingga sering ditinggalkan. Namun, bukan berarti bangunan yang ditinggalkan menyebabkan tanah tersebut tidak bertuan.
Pada pembangunan Jalan Tol Semarang-Demak, ditemukan beberapa tanah musnah yang ada pada kawasan tersebut. Pertama, terdapat 46 hektar lahan mangrove, yang tergolong sebagai kawasan budidaya, yang terdampak proyek pembangunan tersebut. Selain itu, terdapat beberapa hunian warga yang juga terdampak pembangunan. Sayangnya hunian warga tersebut dapat digolongkan sebagai tanah musnah, jika meninjau kondisi fisik lingkungannya. Namun, saat ini pemerintah Provinsi Jawa Tengah sedang mengupayakan agar tanah tersebut tidak dianggap sebagai tanah musnah, dan pemilik tanah dapat mendapatkan ganti untung yang sesuai.
Isu tanah musnah tersebut bukanlah tantangan baru yang terjadi dalam pembangunan infrastruktur. Pemerintah daerah pun sering melakukan upaya evaluasi dan observasi dalam labeling tanah musnah di kawasannya. Upaya evaluasi dan observasi ini sendiri dilakukan karena jika suatu tanah ditentukan sebagai tanah musnah, maka sertifikat kepemilikannya dapat dibatalkan.
Menurut salah satu riset terkait, menyebutkan bahwa status hukum hak atas tanah yang terkena abrasi adalah musnah karena tanah yang dilekati hak atas tanah tersebut hilang. Status hukum tersebut dapat dicanangkan kembali jika terbukti dari pemerintah daerah tidak melakukan upaya mitigasi.
Dari urgensi tersebut, ada baiknya pemerintah daerah dapat mensosialisasikan lebih gencar perihal kepemilikan tanah, khususnya pada daerah yang rawan bencana alam seperti abrasi, rob, dan gempa bumi.
Penulis: Lusia Raras
Sumber:
www.atrbpn.go.id
www..maritim.go.id
www.kompas.com
Amrin, R. N., Imantaka, A. H., Yanengga, E. T. N., & Maulida, G. C. (2022). Status Hukum Hak Atas Tanah Yang Terkena Bencana Alam. Tunas Agraria, 5(1), 65-76.