Deflasi yang terjadi 5 bulan berturut-turut di tahun ini, merupakan kondisi deflasi dengan catatan terpanjang dalam 25 tahun terakhir di Indonesia.
Deflasi merefleksikan berbagai hal, diantaranya kelebihan pasokan, kekurangan jumlah uang beredar, dan memberikan indikasi penurunan daya beli masyarakat, berkurangnya permintaan terhadap suatu barang, ataupun perlambatan kegiatan ekonomi yang berdampak pada berkurangnya penghasilan, sehingga jumlah uang beredar di masyarakat menjadi berkurang.
Terhadap sektor properti, deflasi memberikan implikasi tersendiri. Dari rekam jejak deflasi yang terjadi di Indonesia. Sebut saja deflasi yang terjadi pada tahun 1998, 2008, 2014, 2020 (pandemi), dan saat ini, memiliki latar belakang sejarah yang berbeda-beda, dan memberikan implikasi yang beragam terhadap pasar properti.
Misalnya saja, kondisi deflasi tahun 2008 dan tahun 2024, dan dampak terhadap sektor ritel di Jakarta.
Pada periode tahun 2008, deflasi di periode ini terjadi pada kisaran 0,04%, sebagai dampak dari krisis finansial global. Jika melihat dampak deflasi terhadap sektor ritel, performa ritel pada periode tersebut mulai terlihat terkoreksi pada semester kedua, dengan okupansi sekitar 81%, serapan ruang tahunan tercatat minus, dan harga sewa terkoreksi pada kelas bawah (kelas C). Sementara itu, pemulihan performa ritel mulai terlihat, sekitar akhir tahun 2010.
Jika melihat performa ritel lebih detil perkelas, okupansi pada ritel kelas menengah ke atas telah terjadi sejak awal tahun 2008, dan terus berlanjut sampai awal tahun 2010. Padahal sejak awal tahun 2000 performa ritel sangat optimal, bahkan okupansi pernah menyentuh 100% pada kelas premium. Namun, deflasi memberikan dampak pada koreksi okupansi hingga 15-25% di periode tersebut. Sementara itu, pada ritel kelas menengah ke bawah koreksi telah terjadi sejak akhir tahun 2008, dan terus berlanjut sampai akhir tahun 2010. Performa ritel kembali merangkak membaik setelah tahun 2010, namun tetap berada pada kisaran di bawah 90%.
Sementara itu, deflasi yang terjadi tahun ini (2024), khususnya pada semester pertama tahun 2024, memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap sektor ritel, khususnya pada segmen middle-low, khususnya pada kelas B dan C. Kondisi ini diduga sebagai buntut dari dampak pandemi yang belum pulih hingga saat ini. Selain itu, efek dari tumbuhnya e-commerce juga menjadi salah satu pemicu dari melemahnya performa ritel di segmen middle-low. Berbeda halnya dengan kelas middle-up, segmen ini justru tumbuh terus menguat setelah pandemi. Untuk itu, Strategi yang tepat perlu diimplementasikan untuk mendorong transaksi pada segmen yang masih aktif.
Dalam sektor properti, beberapa hal yang perlu diperhatikan atas potensi risiko deflasi, yaitu penurunan harga properti karena permintaan yang cenderung melemah, penurunan investasi karena ketidakpastian kondisi pasar, meningkatnya nilai hutang pemilik properti karena nilai aset yang melemah, berkurangnya volume dan kualitas permintaan properti. Dan tentu saja hal ini akan berimplikasi terhadap keberlangsungan ratusan industri turunan dari sektor properti.
Penulis : Syarifah Syaukat
Sumber:
https://kfmap.asia/blog/lika-liku-performa-ritel-jakarta-di-tengah-rekam-jejak-deflasi/3518
https://kumparan.com/