Perihal Pertanahan di Wilayah Tambang | KF Map – Digital Map for Property and Infrastructure in Indonesia
Perihal Pertanahan di Wilayah Tambang
Friday, 28 June 2024

Di Indonesia, sengketa pertanahan di wilayah pertambangan sering kali mencuat. Konflik antara pertambangan dan pertanahan umum terjadi,” tutur perwakilan Indonesia Mining Association (IMA).

Dalam Pasal 9 UU 3/2020 tentang Perubahan Atas UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, wilayah pertambangan merupakan landasan bagi penetapan kegiatan usaha pertambangan yang ditetapkan pemerintah pusat setelah ditentukan oleh pemerintah daerah provinsi sesuai kewenangannya dan berkonsultasi dengan DPR.

Penetapan wilayah pertambangan ini terdiri atas:

  1. Wilayah Usaha Pertambangan (WUP);
  2. Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR);
  3. Wilayah Pencadangan Negara (WPN); dan
  4. Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WUPK)

Koordinator Hukum Ditjen Minerba Bambang Sujito menerangkan alur penyelesaian hak atas tanah dalam wilayah pertambangan, yaitu:

  • Pemilik hak atas tanah dan perusahaan melakukan negosiasi.
  • Bila belum tercapai kesepakatan, dilakukan mediasi oleh pemerintah daerah untuk penetapan patokan ganti rugi.
  • Jika masih belum tercapai kesepakatan, mediasi dilanjutkan oleh menteri dengan mengajukan surat permohonan dari pemilik lahan/perusahaan kepada Kementerian ESDM c.q. Ditjen Minerba.
  • Jika masih belum tercapai kesepakatan, pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan baik gugatan tata usaha negara maupun perdata.

Secara umum, terdapat aturan hukum yang mengatur penyelesaian sengketa pertanahan di wilayah pertambangan, diantaranya yaitu:

  • Pemegang IUP eksplorasi atau IUPK eksplorasi hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah (Pasal 135 UU 4/2009). Persetujuan ini dimaksudkan untuk menyelesaikan lahan-lahan yang terganggu oleh kegiatan eksplorasi seperti pengeboran, parit uji, dan pengambilan contoh.
  • Pemegang IUP atau IUPK sebelum melakukan kegiatan operasi produksi wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 136 UU 4/2009).
  • Pemegang IUP atau IUPK yang telah melaksanakan penyelesaian tersebut dapat diberikan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 137 UU 4/2009).

Konflik sengketa tumpang tindih klaim hak atas tanah dengan wilayah pertambangan umumnya disebabkan oleh beberapa hal berikut ini:

  • Masih banyaknya tanah yang belum terdaftar
  • Kurangnya kesadaran akan kedudukan sertifikat sebagai bukti kepemilikan
  • Proses pewarisan yang belum selesai
  • Praktik mafia tanah
  • Ketidakcermatan sebagian kecil notaris dan PPAT dalam menjalankan tugas.

Adapun solusi hukum permasalahan hak atas tanah untuk kegiatan usaha pertambangan dalam Pasal 134, 135, 136 dan 137 UU 4/2009, dilakukan oleh pemerintah pusat melalui mediasi dalam hal tidak tercapainya kesepakatan antara pemegang IUP atau IUPK dengan pemegang hak atas tanah.

Hak atas wilayah pertambangan dan izin yang dikeluarkan tidak mencakup hak atas tanah permukaan bumi dan bukan pemilikan hak atas tanah. Oleh karena itu, penyelesaian hak atas tanah harus dilakukan terlebih dahulu untuk menghindari tumpang tindih dengan pemegang hak atas tanah.

 

Penulis: Eka Firmansyah

Sumber:

https://kfmap.asia/blog/waspadai-penyerobotan-tanah-bagaimana-hukumnya/2354

https://www.hukumonline.com

Share:
Back to Blogs