Properti yang tidak berlokasi di daerah potensi bahaya maupun bencana alam, umumnya memiliki nilai harga yang baik dan cenderung stabil. Hal ini karena bencana alam dan dinamikanya akan mengubah struktur morfologi, salah satunya menimbulkan/menghilangkan luasan lahan seperti yang ditimbulkan dari bencana longsor, dan yang dengan demikian berpotensi mengubah status kepemilikan dan nilai lahan. Bencana alam dapat menyebabkan morfologi wilayah tidak dapat dikenali dan menyulitkan penentuan patokan tanah.
Di Indonesia, jenis bencana yang paling umum yang harus diperhatikan saat membeli properti adalah banjir dan longsor. Dua bencana ini dapat diperkirakan melalui kemiringan tanah dan sistem drainase. Ada pun bencana-bencana lain yang juga mempengaruhi morfologi tanah di antaranya adalah erupsi gunung berapi, gempa bumi, dan angin puting beliung.
Namun demikian, bukan berarti properti yang ada pada daerah rawan bencana berarti tidak layak diperjualbelikan. Tidak sedikit daerah potensial bencana memiliki mitigasi yang baik dan sistem kesiapsiagaan yang lengkap dan matang sehingga properti di atasnya akan memiliki nilai yang baik.
Seperti dengan yang tertulis pada UU no.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, pemerintah wajib ikut terlibat dalam perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, penggunaan terpadu, dan catatan dokumentasi dalam pencegahan dan mitigasi. Dalam menangani pasca bencana perlu dilakukan rekonsiliasi pendataan tanah.
Sementara itu, pengembang yang mengembangkan kawasan di wilayah potensi bencana perlu memperhatikan kondisi lanskap dan geologi, peruntukan tanah, kajian bencana dan program mitigasi dari Pemerintah setempat.
Sedangkan property seeker perlu cermat, untuk memilih lokasi yang diinginkan dan menggali informasi site and situation.
Penulis: Nigel E Tiopan
Sumber:
BNPB 2012
UU no.24 tahun 2007
www.seva.id
Artikel Terkait: