Tanah adat merupakan salah satu aspek paling kompleks dan sensitif dalam pengembangan real estate, terutama di wilayah terpencil. Wilayah-wilayah ini seringkali memiliki nilai budaya, sejarah, dan spiritual yang mendalam bagi masyarakat adat setempat. Namun, peningkatan kebutuhan akan pembangunan infrastruktur, perumahan, serta proyek real estate sering kali menciptakan konflik antara investor, pengembang, dan komunitas adat.
Tanah adat merujuk pada tanah yang secara turun-temurun dimiliki oleh masyarakat adat tertentu dan diatur berdasarkan hukum adat setempat. Tanah-tanah ini seringkali tidak terdaftar dalam sistem hukum formal negara, tetapi diakui secara luas oleh komunitas yang mendiami wilayah tersebut.
Di beberapa negara, pemerintah telah mengakui keberadaan dan hak masyarakat adat atas tanah tersebut. Tetapi di dunia nyata, perlindungan terhadap tanah adat seringkali diabaikan.
Salah satu tantangan terbesar dalam pengembangan real estate di wilayah terpencil yang melibatkan tanah adat adalah kepemilikan yang tidak jelas. Tanah yang tidak terdaftar dalam sistem hukum formal sering kali menimbulkan konflik antara pengembang dan masyarakat adat.
Ketidakpastian hukum ini sering kali berujung pada konflik berkepanjangan. Laporan Knight Frank tentang tren investasi dan real estate di Afrika menyoroti berbagai kendala yang dihadapi investor properti di Afrika, terutama saat berinvestasi di wilayah adat. Risiko konflik tanah, ketidakpastian hukum, dan kurangnya pemahaman terhadap konteks sosial-budaya menjadi hambatan utama dalam pengembangan proyek.
Hak-hak masyarakat adat atas tanah diakui secara internasional melalui berbagai instrumen hukum, seperti Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (UNDRIP). Deklarasi ini menegaskan bahwa masyarakat adat memiliki hak untuk menentukan penggunaan tanah, wilayah, dan sumber daya mereka sendiri.
Sayangnya, penerapan hak ini sering kali tidak konsisten di berbagai negara, terutama di wilayah terpencil di mana akses terhadap sistem hukum dan perlindungan hak masih terbatas.
Untuk mengatasi isu ini, beberapa negara telah mulai mengimplementasikan pendekatan inklusif yang melibatkan masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan terkait penggunaan tanah mereka. Pendekatan ini sering disebut dengan istilah "Free, Prior, and Informed Consent" (FPIC) yang menekankan bahwa setiap pengembangan yang melibatkan tanah adat harus mendapatkan persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan secara penuh dari masyarakat adat yang terlibat.
Persoalan kepemilikan tanah adat dalam konteks pengembangan real estate di wilayah terpencil menuntut solusi yang komprehensif. Perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat harus menjadi prioritas utama, dengan memperhatikan aspek hukum, sosial, dan ekonomi secara seimbang.
Penulis: Sekar Syauqyya Putri Faoly
Sumber: