Ekonomi global saat ini sedang menuju resesi. International Monetary Fund (IMF) memprediksi akan terjadi perlambatan pertumbuhan GDP dari 6,0% pada 2021 menjadi 3,2% pada 2022, dan 2,7% pada 2023. Namun berdasarkan survei Reuters tahun 2022 telah mengalami perlambatan menjadi 2,9% dan 2,3% pada 2023, dimana ini lebih parah jika dibandingkan dengan prediksi IMF. Krisis biaya hidup, pengetatan kondisi keuangan di sebagian besar negara, invasi Rusia ke Ukraina, dan pandemi Covid-19 yang berkepanjangan menjadi akumulasi permasalahan yang menyebabkan resesi ini. Kondisi ini adalah profil pertumbuhan terlemah sejak 2001 kecuali untuk krisis keuangan global dan fase akut pandemi Covid-19.
Negara Tiongkok juga mengalami perlambatan pertumbuhan terparah dalam 50 tahun terakhir. Target resmi ditetapkan (5,5%) tidak mungkin terpenuhi dengan konsensus sekitar 3,2% setelah data resmi kuartal ketiga 3,9%. Namun, dalam pernyataan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Dody Budi Waluyo, “Kita punya optimisme, ekonomi kita masih akan terus tumbuh, di tengah negara maju banyak yang sudah mengatakan kita siap masuk resesi. Di regional mungkin Indonesia termasuk sedikit negara yg tumbuh pada kisaran 4-5%,” paparnya dalam acara GNPIP.
Pernyataan tersebut sesuai dengan prediksi IMF untuk Indonesia. Indonesia diprediksi memiliki peluang untuk tumbuh sebesar 5,3% tahun ini dan sedikit melambat menjadi 5% pada tahun depan. Pertumbuhan ini jauh di atas negara Tiongkok dan Amerika Serikat. Salah satu penyebab dari kabar baik ini adalah sektor properti yang menjadi penyanggah Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar 13,6%. Properti dinilai memiliki resiliensi tinggi dalam menghadapi krisis. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998-1999 dan tahun 2008 di Indonesia, tak membuat sektor properti ikut terdampak secara langsung. Bahkan tahun 1997 KPR mencapai rekor dan pada 2017 terpecahkan rekor tertingginya.
Indonesia memiliki kuda-kuda yang tangguh dalam menghadapi resesi ekonomi global. Sektor properti menjadi salah satu penyokong, terutama pada subsektor perumahan. Subsektor ini menggunakan 90% material lokal, memiliki backlog atau kebutuhan sebesar 12,75 juta unit, dan dilindungi oleh negara dalam Undang-Undang. Sehingga permintaannya akan terus meningkat dan menjadi pilihan investasi yang paling aman.
Penulis: Tristan Dimastyo Ramadhan
Sumber:
www.knightfrank.com
www.cnbcindonesia.com
www.investor.id
Artikel Terkait: