Indonesia memiliki ketentuan khusus yang mengatur pertanahan, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Ada lima permasalahan tanah yang diatur dalam undang-undang tersebut, yaitu fungsi sosial tanah (pasal 6), batas maksimum pemilikan tanah (pasal 7), pemilikan tanah absentee atau guntai (pasal 10), monopoli pemilikan tanah (pasal 13), dan penetapan ganti rugi tanah untuk kepentingan umum (pasal 18).
Pelaksanaan pembatasan kepemilikan tanah dalam UUPA masih juga belum seperti yang diharapkan, terlihat dari kepemilikan tanah secara absentee, yang seringkali diketahui, tetapi sulit untuk dibuktikan karena adanya berbagai alasan. Sedangkan pemilikan tanah pertanian secara absentee, secara tegas dilarang oleh UUPA. Larangan ini berkaitan dengan ketentuan-ketentuan pokok landreform yang diatur dalam pasal 7, 10, dan 17 UUPA. Maksud dari pelarangan pemilikan tanah secara absentee ini agar pemilik lahan bisa aktif dan efektif dalam mengerjakan tanah pertanian miliknya.
Untuk mencegah maraknya tanah absentee maka diberlakukan aturan bagi pembeli tanah untuk memiliki KTP yang sama dengan lokasi dengan tanah sawah yang akan dibeli, sesuai dengan peraturan perundang-undangannya.Jika pembeli tanah bukan merupakan warga yang berdomisili sama dengan lokasi tanah, akta tanah tidak bisa diterbitkan.
Bentuk pencegahan lainnya adalah larangan tanah sawah untuk dipecah-pecah sertifikatnya. Ketika lahan sawah akan digunakan untuk tempat tinggal atau usaha harus sesuai aspek tata ruang kota. Selain itu perlu mengurus perizinan pengeringan. Dalam pelaksanaanya, pengendalian tanah absentee ini harus melibatkan beberapa pihak seperti notaris/ PPAT dan kantor pertanahan. PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah pasal 39 ayat (1) huruf g menyebutkan bahwa PPAT menolak untuk membuat akta, jika tidak dipenuhi syarat lain atau melanggar larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Kantor pertanahan juga perlu melakukan tertib administrasi dalam pembuatan sertifikat tanah, termasuk domisili dari pemilik tanah apakah berada di satu kecamatan dengan tanah bersangkutan. Jika letak tanah di luar kecamatan atau lebih dari 5 km berbatasan antar kecamatan, pembuatan sertifikatnya tidak akan diproses.
Penulis : Muhamad Ashari
Sumber:
www.journal.unpak.ac.id
www.yogyakarta.kompas.com
Artikel Terkait: