Sektor perkantoran merupakan salah satu sektor properti yang terdampak oleh pandemi. Penurunan tingkat okupansi hingga penurunan harga sewa merupakan tantangan yang dihadapi sektor perkantoran selama masa pandemi.
Saat ini, kondisi pandemi yang kian membaik dan terlihat peningkatan prospek dalam transaksi ruang di sektor perkantoran. Lalu bagaimana strategi yang tepat bagi pengelola perkantoran untuk beradaptasi setelah pandemi?
Menurut riset yang dilakukan oleh salah satu konsultan bisnis, 47% responden menginginkan adanya peningkatan kesadaran akan well-being dari para pekerja. Tentunya hal ini dapat diciptakan salah satunya melalui penciptaan ruang kerja yang nyaman dan produktif bagi para pekerja. Kebutuhan akan ruang kerja tersebut akhirnya menghadirkan salah satu konsep baru dalam desain ruang perkantoran yang bernama agile workspace
Agile workspace adalah jenis lingkungan kerja yang dirancang berkaitan dengan fleksibilitas. Tidak seperti kantor tradisional — di mana karyawan ditugaskan secara permanen ke meja — tempat kerja yang agile mendorong pekerja untuk bergerak bebas. Desain kantor yang agile mampu mendorong kolaborasi dalam tim, dimana hal ini merupakan salah satu indikator yang paling diinginkan oleh pekerja setelah masa pandemi.
Agile workspace selain mampu meningkatkan produktivitas pengguna unit perkantoran, namun juga meningkatkan adaptivitas unit kantor terhadap persebaran virus atau penyakit. Berikut merupakan beberapa indikator untuk menciptakan agile workspace.
1. Open Plan Spaces
Ruang didesain terbuka, bertujuan untuk mendorong kolaborasi antar pekerja. Hal ini penting bagi pekerja, terutama saat mengerjakan proyek yang membutuhkan komunikasi antar tim yang intensif. Namun, memang ruang ini tidak tepat sebagai ruang produktif bekerja, karena banyaknya distraksi. Untuk menangani hal ini, maka dibutuhkan ruang quiet zones.
2. Quiet Zones
Ruang yang mengedepankan privasi dan konsentrasi bagi penggunanya. Pada ruang tersebut, pengguna akan mendapatkan kesunyian dalam bekerja. Beberapa bentuk yang dapat diadopsi oleh unit perkantoran adalah melalui unit cubicle – no noise and no talk, dan meditative space. Sehingga quiet zones berfungsi sebagai ruang agar pekerja berada dalam lingkungan yang tanpa suara dan distraksi.
3. Breakout Spaces
Ruang yang paling informal, karena pada ruang ini para pengguna unit perkantoran dapat beristirahat, makan, dan berinteraksi. Ruang tersebut selain berfungsi sebagai ruang yang nyaman untuk beristirahat namun juga dapat berfungsi sebagai ruang sebagai tempat rapat informal antar sesama pekerja atau dengan klien.
4. Resource Area
Ruang ini merupakan ruang berisi fasilitas yang mampu mendukung produktivitas pekerja. Beberapa fasilitas yang perlu disediakan adalah printer, scanner, dan stationary. Ruangan ini biasanya merupakan ruang yang ramai di dalam unit perkantoran, sehingga ruangan ini perlu diletakkan pada lokasi yang aksesibel namun jauh dari quiet zones.
5. Touchdown Area
Ruang ini merupakan ruang informal yang bertujuan untuk mengakomodasi tugas-tugas dengan urgensi tinggi setelah para pekerja sampai di kantor. Adanya touchdown area mampu membantu pekerja untuk menyelesaikan tugasnya, tanpa harus bergerak menuju designated space miliknya. Ruang ini bisa diletakkan di daerah lobi.
Melihat fungsi dan tujuan masing-masing ruang tersebut, dapat dinilai bahwa agile workspace menjadi salah satu nilai tambah yang mampu meningkatkan keinginan para pekerja untuk kembali ke kantornya masing-masing. Penerapan agile workspace sendiri dapat meningkatkan kultur collaborative, flexible, dan kreatif di dalam tim kerja.
Penulis: Lusia Raras
Sumber:
www.wework.com
www.mckinsey.com