Green Logistics adalah konsep logistik mulai dari proses pengolahan barang hingga konsumen dapat menggunakan barang tersebut, dengan penekanan tidak merusak lingkungan dan menggunakan sebanyak mungkin bahan mentah yang ramah lingkungan. Setelah pemakaian, barang dikirim kembali dari konsumen kepada produsen untuk diperbaiki atau diolah menjadi barang yang tetap ramah lingkungan (recycle).
Sistem green logistics memfasilitasi pengambilan limbah dari konsumen ke lokasi daur ulang. Konsep ini berawal dari kesadaran organisasi, masyarakat, dan pemerintah untuk menciptakan kondisi manufaktur, transportasi, dan proses distribusi yang minim polusi.
Contoh penerapan green logistics adalah pengurangan konsumsi bahan bakar, penggunaan moda transportasi yang menimbulkan polusi (udara, suara) yang rendah, kerjasama dengan konsumen dan masyarakat dalam menghasilkan ide-ide baru untuk green logistics (misalnya penelitian di perguruan tinggi).
Salah satu bentuk implementasi green logistics di Indonesia adalah Terminal Teluk Lamong yang merupakan green port pertama di Indonesia dan Asia. Selain menggunakan sistem penerangan berkonsumsi energi rendah, Terminal juga mengoperasikan truk-truk berbahan bakar gas yang ramah lingkungan. Efisiensi penggunaan energi yang rendah diharapkan berdampak terhadap biaya kepelabuhanan yang efisien pula.
Penerapan green logistics mencakup keterkaitan banyak pihak. Untuk transportasi jalan, misalnya, pihak-pihak terkait di antaranya pabrikan truk (produsen armada), Kementerian Perindustrian (rancang bangun kendaraan bermotor), Kementerian Perhubungan (uji tipe dan uji emisi gas buang berkala kendaraan bermotor), Kementerian Lingkungan Hidup (ambang batas emisi gas buang), Kementerian ESDM (pengembangan spesifikasi bahan bakar), Penyedia dan distributor bahan bakar (produksi dan pendistribusian bahan bakar), dan Kepolisian (penegakan peraturan). Pemilik barang (pabrikan dan pengecer) juga menjadi pihak yang berperan mendorong penerapan green logistics.
Tantangan penerapan green logistics di Indonesia:
1. Ketersediaan tingkat teknologi kendaraan yang ramah lingkungan di Indonesia yang masih perlu ditingkatkan. Pada saat ini Indonesia masih menggunakan vehicle emission standard Euro 2. Sementara, Thailand, misalnya, telah menggunakan standar Euro 3 sejak tahun 2009, bahkan menggunakan Euro 4 sejak tahun 2012.
2. Kualitas bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia masih memiliki kadar sulfur yang tinggi. Untuk diesel, kandungan sulfur masih sekitar 2.000-3.000 ppm; sementara standar Euro 4 membatasi kandungan sulfur maksimum 50 ppm.
3. Ketersediaan dan jaminan keberlanjutan pasokan bahan bakar yang ramah lingkungan.
4. Jumlah dan ketersebaran fasilitas pengisian bahan bakar yang ramah lingkungan masih terbatas. Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG), misalnya, masih sangat terbatas jumlah dan penyebarannya, sehingga para pelaku transportasi umumnya belum berani untuk beralih ke penggunaan SPBG.
5. Pemahaman dan kompetensi sebagian pelaku usaha mengenai konsep dan penerapan green logistics masih perlu ditingkatkan.
6. Keterbatasan modal para pelaku usaha. Misalnya, sebagian besar perusahaan transportasi mengalami kesulitan pendanaan untuk melakukan peremajaan armada.
Konsep ini memang menjadi skenario jangka panjang, selain untuk meningkatkan produktivitas nasional, sekaligus memperpanjang usia lingkungan hidup.
Penulis : Muhamad Ashari
Sumber:
www.dev.ppm-manajemen.ac.id
www.supplychainindonesia.com