Saat ini kepedulian terhadap lingkungan hidup semakin tinggi, sebut saja perhelatan G20 kemarin, peserta didorong untuk memiliki komitmen menanggulangi isu perubahan iklim sebagai tantangan lingkungan hidup yang nyata saat ini.
Sementara itu, konferensi global COP-26 bulan November 2021 kemarin, menyebutkan bahwa pendanaan iklim menjadi salah satu tema utama untuk mewujudkan Net Zero Emissions secara global di tahun 2050. Salah satu bentuk pendanaan iklim tersebut adalah melalui pajak karbon.
Pajak karbon merupakan pajak yang dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Di Indonesia Pajak Karbon diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada Pasal 13 Ayat (1). Pajak Karbon akan dimulai pada 1 Juli 2022. Nantinya, Pajak Karbon akan diinisiasi untuk sektor industri pembangkit tenaga listrik, namun pada tahun 2024 pajak akan diterapkan pada sektor transportasi dan sektor lainnya.
Pajak karbon sendiri akan ditentukan pada saat: 1) Pembelian barang yang mengandung karbon, 2) Periode tahun kalender dari aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu, dan 3) Saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah. Tarif pajak karbon pun akan ditetapkan sebesar Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (Coze), dimana tarif tersebut lebih tinggi dari tarif harga karbon di pasar global. Sektor properti akan terkait dengan kebijakan pajak karbon.
Lalu apa dampaknya terhadap sektor properti?
Seperti kita ketahui bersama bahwa, sektor properti menyumbang sekitar 40% emisi karbon secara global. Emisi tersebut terjadi pada saat pembangunan dan operasional bangunan, sehingga strategi seperti pengaturan temperatur bangunan, ventilasi bangunan, dan penggunaan listrik dan air di bangunan sepertinya belum cukup untuk mengurangi emisi karbon secara signifikan.
Adanya pajak karbon pada sektor properti tentunya akan mempengaruhi masa konstruksi dan operasional pemeliharaan bangunan. Sehingga diperlukan support project management pada fase awal pembangunan untuk dapat membantu review desain bangunan dapat berbasis green/berkelanjutan, ataupun building audit pada bangunan-bangunan existing berfokus pada energi audit sehingga dapat menekan pemakaian listrik yang bermanfaat dalam menghadapi era net Zero Emissions.
Anda dapat berdiskusi lebih lanjut terkait support project management maupun building audit dengan divisi Property and Engineering Services dari Knight Frank Indonesia, hal ini diperlukan untuk memberikan arahan dan panduan teknis untuk mempersiapkan pemberlakuan pajak karbon dalam pengelolaan bangunan.
Untuk proyek yang akan dibangun, Divisi Property and Engineering Services dapat memberikan arahan dari proses design, seperti arahan pembangunan gedung berbasis green building. Pemilihan bahan material bangunan, penggunaan teknologi dan metode operasional akan diarahkan menjamin carbon footprint yang efisien, sejalan dengan net zero emissions.
Untuk proyek/bangunan eksisting, diskusi dan arahan dapat dilakukan untuk menelaah sistem operasional yang telah berlaku, menelaah operating expense (biaya operasional) bangunan melalui Building Audit atau Energy Audit, sehingga didapatkan formulasi yang mampu meningkatkan performa bangunan dengan optimal dan efisien.
Untuk diskusi lebih lanjut, Anda dapat menghubungi Divisi Property and Engineering Services dari Knight Frank Indonesia melalui link berikut ini,
https://kfmap.asia/services/property-and-engineering-services.
Penulis: Lusia Raras
Sumber:
www.cnn.com
www.kompas.com
www.bisnis.com
www.iesr.or.id