Dalam pembangunan infrastruktur, ESG (Environtment, Social, Governance) menjadi elemen yang menjadi prioritas. Praktik ESG yang kuat tidak hanya membantu menciptakan nilai bisnis yang besar bagi perusahaan, namun juga meningkatkan kualitas hidup lingkungan dan masyarakat.
Tiga pilar lingkungan (environmental), sosial (social), dan tata kelola (governance) atau ESG merupakan metrik kinerja yang digunakan untuk menilai perusahaan atau proyek investasi ramah terhadap lingkungan, dalam arti kemampuan untuk mengurangi dampak dari pembangunan terhadap lingkungan hidup.
Sosial berkaitan dengan cara perusahaan berinteraksi dengan bisnis dan komunitas, serta cara perusahaan memandang keragaman, hak asasi manusia, dan perlindungan konsumen.
Kemudian, hubungan internal perusahaan dengan pemangku kepentingan utama, seperti karyawan dan pemegang saham, disebut sebagai tata kelola.
Praktik ESG kini telah menjadi perhatian perusahaan-perusahaan global maupun lokal, termasuk di bidang properti. Seiring dengan upaya konsumen, penghuni, pengembang, dan investor untuk berbuat lebih baik dalam mencegah perubahan iklim, implementasi konsep ESG pada pembangunan telah menjadi agenda teratas di kalangan profesional properti.
Secara global, lingkungan binaan/buatan turut bertanggung jawab atas 40% emisi karbon di seluruh dunia. Sehingga industri konstruksi dan properti memiliki peran penting dalam menurunkan emisi ini.
Menurut Knight Frank Global dalam The Wealth Report 2022, 80% investor menginginkan lebih banyak aset yang sesuai dengan ESG, sebagian besar untuk mengamankan portofolio mereka di masa depan.
Bagaimana Kondisi ESG di Indonesia?
Di Indonesia faktor ESG juga memengaruhi keputusan investor di mana investor menjadi semakin tertarik pada efisiensi air dan energi, serta orientasi terhadap bangunan yang lebih efisien dan tahan lama.
Selain itu, berdasarkan penelitian Carol Adams dan Abhayawansa mengenai investasi ESG di tengah pandemi, perusahaan dengan peringkat ESG yang tinggi telah memperoleh pengembalian saham yang relatif lebih tinggi dan mengalami volatilitas yang lebih rendah.
Berdasarkan Survei Nasional ESG 2019, mayoritas pelaku bisnis di Indonesia belum mengikutsertakan kriteria ESG secara terstruktur dalam pengambilan keputusan di organisasinya. Deni Daruri, pendiri Bumi Global Karbon Foundation mengemukakan bahwa penerapan ESG Indonesia masih di bawah 50%.
Hal ini menyebabkan Indonesia kalah dibanding negara-negara lain. Didukung oleh data Corporate Knights, ESG pasar modal Indonesia tahun 2019 berada di peringkat 36 dunia, sedangkan Filipina di peringkat 30, Malaysia di peringkat 22, dan bahkan Thailand yang berada di peringkat 9.
Ke depan, perlu ada dukungan nyata dari Pemerintah terkait praktek ESG, misalnya perusahaan yang menerapkan ESG diberikan berbagai manfaat, seperti insentif pajak. ESG yang mengarah pada pembangunan berkelanjutan membutuhkan peran semua elemen. Tak hanya pemerintah dan pemerintah, namun masyarakat pun harus terlibat aktif dan bertanggung jawab.
Penulis: Dinda Ichsani
Sumber:
www.investor.id
www.knightfrank.com
www.kpbu.kemenkeu.go.id
www.crmsindonesia.org