Backlog perumahan di Indonesia, atau kekurangan ketersediaan stok rumah dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat, masih menjadi isu hingga kini. Menurut data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, pada tahun 2023, kekurangan ini mencapai 12,7 juta unit rumah.
Meskipun Pemerintah sudah meluncurkan berbagai program perumahan seperti Program Sejuta Rumah, masalah ini tetap sulit diatasi.
Salah satu penyebab utama adalah pesatnya urbanisasi. Menurut data Bappenas, pada tahun 2024, sekitar 67,1% penduduk Indonesia memilih tinggal di kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung, yang menjadi magnet bagi banyak orang. Hal ini karena peluang pekerjaan dan fasilitas yang lebih lengkap. Sayangnya, permintaan rumah di kota besar jauh melampaui pasokannya.
Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) juga menghadapi kesulitan dalam mendapatkan rumah. Meskipun ada program subsidi dari pemerintah, banyak dari mereka masih kesulitan mengakses kredit perumahan karena syarat dari perbankan yang cukup ketat. Akibatnya, mereka kesulitan membeli rumah, terutama di daerah perkotaan.
Di kota-kota besar, harga tanah naik 5-20% per tahun. Ini jelas membuat pengembang properti kesulitan menyediakan rumah dengan harga terjangkau bagi masyarakat. Dengan harga tanah yang makin tinggi, harga rumah pun ikut melonjak.
Pada dasarnya, penyediaan rumah layak untuk semua lapisan masyarakat membutuhkan kerja sama antara pemerintah dan berbagai pihak. Sehingga didapatkan pembagian peran antara seluruh pemangku kepentingan dalam upaya pengadaan perumahan.
Untuk mengatasi backlog perumahan ini, diperlukan langkah-langkah yang lebih menyeluruh. Mulai dari penyediaan lahan, peningkatan akses pembiayaan, pengendalian harga tanah, peningkatan kualitas rumah subsidi, dsb. Dengan upaya yang tepat, kebutuhan rumah bagi masyarakat Indonesia bisa terpenuhi di tengah arus urbanisasi.
Nama Penulis : Alivia Putri Winata
Sumber :
https://www.detik.com/
https://www.antaranews.com/
https://www.rumah123.com/
https://money.kompas.com/