Memasuki tahun 2023, beberapa negara sudah mulai melakukan strategi pemulihan ekonomi pasca pandemi, diantaranya seperti membuka peluang investasi baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Salah satu contohnya adalah Singapura. Baru-baru ini beredar kabar bahwa salah satu perusahaan real estate yang dimiliki oleh seorang konglomerat Indonesia melakukan transaksi senilai Rp 9,4 triliun untuk pembelian mall di Singapura. Properti komersial dengan luas 6.365 meter persegi ini terletak di Orchard Road, yang merupakan salah satu koridor komersial yang premium di Singapura.
Tidak lama berselang, konglomerat Indonesia pun juga melakukan investasi di Nasim Road dengan harga 2,3 Triliun. Transaksi tersebut dilakukan dalam bentuk pembelian bungalow, dengan luas 1.406 meter persegi, dan terletak di salah satu kawasan residensial paling premium di Singapura.
Transaksi yang fantastis ini tentunya mengundang pertanyaan mengenai pertumbuhan pasar properti di Singapura. Menurut The Wealth Report yang dirilis oleh Knight Frank Global, diketahui bahwa Singapura merupakan salah satu diantara top five negara sasaran investasi para ultra-high networth individuals (UHNWI).
Selain itu, harga residensial di Singapura pada tahun 2022 sama dengan harga residensial di New York. Sehingga dapat dipahami bahwa Singapura saat ini masih menjadi safe haven investasi properti, terutama didukung dengan transparansi regulasi, ketertiban tata ruang, infrastruktur yang memadai, dan stabilitas politik.
Melihat gairah investasi tersebut, muncul kekhawatiran terjadinya koreksi destabilisasi ekonomi. Hal ini dapat terjadi jika lonjakan harga di sektor properti lebih “cepat” dibanding peningkatan fundamental ekonomi di Singapura. Menurut Urban Redevelopment Authority (URA), lonjakan harga properti residensial di Singapura berada pada angka 3,2% pada kuartal I tahun ini.
Oleh karena itu, pemerintah Singapura mengeluarkan beberapa regulasi berkaitan dengan pajak pembelian properti. Beberapa regulasi yang dikeluarkan adalah meningkatkan nilai bea materai (stamp duty) sebesar 60% dari yang awalnya 30%. Tidak hanya berlaku bagi asing, warga Singapura yang membeli properti kedua akan dikenakan additional buyer's stamp duty atau ABSD sebesar 20% dari yang sebelumnya 17%.
Regulasi ini pun diharapkan mampu “mendinginkan” kondisi pasar properti di Singapura yang kembali bangkit pasca pandemi.
Penulis: Lusia Raras
Sumber:
Finance.detik.com
Money.kompas.com
www.kompas.com
Artikel Terkait
Pertumbuhan Harga Residential Premium di Tengah Tren Belanja Properti Crazy Rich
Preferensi Investor Asia Pasifik 2023