Generasi millenial yang umumnya lahir di tahun 1980-2000, kini sudah masuk dalam masa usia produktif atau angkatan kerja. Kelompok umur inilah yang diprediksi akan mendominasi pasar properti di Indonesia hingga sepuluh tahun kedepan. Mengutip data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2020 ini jumlah milenial diprediksi sebanyak 83 juta jiwa atau sekitar 34 persen dari total populasi Indonesia yang mencapai 271 juta jiwa. Atau bisa dikatakan tahun ini Indonesia menghadapi fase bonus demografi dengan populasi millennial mencapai sepertiga.
Pada acara Digital Economic Forum yang diselenggarakan di Jakarta pada Agustus tahun lalu terungkap bahwa ada peningkatan ketertarikan millennial terhadap investasi properti dari 22 persen di tahun 2018 menjadi 24 persen di Juli 2019. Sementara tabungan atau deposito dengan tingkat likuiditas yang lebih tinggi, saat ini masih menjadi pilihan utama investasi milenial, meski angkanya menurun dari 45 persen menjadi 43 persen pada periode yang sama.
Sejalan dengan itu, studi salah satu agent properti dalam Property Outlook 2019 menyebutkan, bahwa millenial dengan rentang usia 30-35 tahun menjadi kelompok usia early majority dalam pembelian properti (34 persen). Selain itu, Departemen Makro Prudensial Bank Indonesia juga menyebutkan bahwa debitur usia muda rentang 26-35 tahun mendominasi kredit pemilikan rumah (KPR) sejak 2014-2018. Menilisik income para millenial, BPS tahun 2018 menyebutkan, rata-rata penghasilan generasi millenial (kelompok umur 25 - 39 tahun) adalah sebesar Rp 2,99 juta per bulan. Dengan penghasilan tertinggi berada pada sektor Jasa Keuangan dan Asuransi.
Dengan demikian misalnya, saat ini millenial bergaji Rp5 juta sampai Rp7 juta per bulan, maka gaji yang bisa disisihkan untuk cicilan hunian sebesar 30 persen, yaitu Rp1,66 juta sampai Rp2,33 juta per bulan. Sebutlah, harga hunian yang disasar milenial senilai Rp300 juta dan DP standar sebesar 20 persen, maka sebanyak Rp60 juta dibayar di awal. Sedangkan sisanya sebesar Rp240 juta dibayar dengan cicilan, dengan skema bunga standar sebesar 10 persen per tahun dan periode mencicil selama 20 tahun, maka biaya cicilan sebesar Rp2,31 juta. Artinya, cicilan masih masuk dengan kemampuan mencicil bagi millenial yang berpenghasilan Rp7 juta. Sedangkan untuk yang berpenghasilan dibawah itu, dapat melakukan beberapa solusi, yakni mencari hunian dengan harga yang lebih rendah, memperpanjang periode cicilan, atau memperbesar DP.
Sehingga disimpulkan kisaran harga rumah yang tepat untuk generasi millenial adalah di kisaran ratusan juta. Kondisi ini merupakan potensi pasar bagi developer dan perbankan untuk mewujudkan keinginan kelompok ini dalam memiliki hunian. Namun demikian, hasil properti konsultan menyebutkan, pengembang properti Indonesia perlu beradaptasi untuk memenuhi kebutuhan generasi millenial, terutama terkait daya beli yang ada.Walaupun kondisi harga stabil selama 2-3 tahun terakhir, namun pertumbuhan pendapatan hingga kini belum bisa mengejar harga rumah saat ini.
Namun, beberapa pengembang hanya memberikan perhatian yang sedikit untuk segmen pasar yang sedang berkembang ini. Hal ini dapat dimengerti karena persyaratan modal yang tinggi dan margin keuntungan yang kecil yang bisa didapat dari segmen millenial. Namun demikian, generasi millenial menawarkan kesempatan yang tidak bisa diabaikan. Untuk para pengembang yang berupaya menembus pasar milenial, maka tidak bisa hanya mengandalkan fitur, fasilitas dan akses untuk menjual properti.
Generasi millenial adalah generasi yang aktif dan selalu mencari pengalaman, sehingga menciptakan inovasi menjadi kebutuhan pengembangan, seperti bagaimana membuat area sekitar hunian menjadi hidup dengan menyediakan elemen pendidikan, estetis dan hiburan. Selanjutnya, pemberian iming-iming atau gimmick justru harus diubah, melainkan jauh lebih menarik bila menawarkan kemudahan cara pembayaran seperti down payment (DP) ringan, cicilan murah, dan tenor yang panjang dalam menawarkan produk properti.
Selain itu, untuk millenial, lokasi strategis adalah lokasi dengan akses dekat dengan transportasi umum seperti stasiun atau terminal. Properti yang terintegrasi dengan transportasi publik seperti commuter line, Transjakarta, MRT atau LRT, yang menuju CBD atau bandara dan tempat beraktivitas lainnya merupakan nilai tambah.
Penulis: Miranda
Sumber:
https://www.wartaekonomi.co.id/
https://properti.kompas.com/
https://ekonomi.bisnis.com/
https://www.worldfinance.com/
https://www.bps.go.id/
https://www.cnnindonesia.com/